Rabu, 03 September 2014



BAB I
PENDAHULUAN
Latar belakang
Dalam khazanah pembelajaran terdapat bermacam-macam model disain pembelajaran. Dari model-model disain tersebut komponen dan polanya antara yang satu dengan lainnya terdapat perbedaan. Meskipun demikian dari berbagai disain pembelajaran tersebut terdapat komponen-komponen yang termasuk komponen pokok yaitu: tujuan , materi, strategi, media dan evaluasi.
Tujuan adalah sesuatu yang ingin dicapai, materi adalah bahan yang dipelajari siswa atau diajarkan guru kepada siswa. Strategi adalah langkah-langkah yang ditempuh siswa dan atau guru dalam mempelajari (mengajarkan) materi pelajaran untuk mencapai tujuan. Media adalah sarana untuk memudahkan pencapaian tujuan. Evaluasi adalah proses untuk mengetahui pencapaian hasil dan efektivitas pembelajaran.












BAB II
PEMBAHASAN

A.    MODEL PENGUKURAN (MEASUREMENT MODEL)

Pengukuran (measurement) dapat didefinisikan sebagai proses penetapan angka terhadap individu atau karakteristiknya menurut aturan tertentu[1]. Allen dan Yen mendefinisikan pengukuran sebagai penetapan angka dengan cara yang sistematik untuk menyatakan keadaan individu[2].
Tokoh dari model pengukuran (measurement model) adalah Edward L. Tohrndike dan Robert L. Ebel[3]. R. Thorndike berkeyakinan “ if anything exists, it exists in quantity, and if it exists in quantity it can be measured ”. Menurut model ini penilaian pendidikan pada dasarnya tidak lain adalah “pengukuran” terhadap berbagai aspek tingkah laku dengan tujuan untuk melihat perbedaan-perbedaan individu atau kelompok, yang hasilnya diperlukan dalam rangka seleksi, bimbingan, dan perencanaan pendidikan bagi para siswa di sekolah[4].
Sesuai dengan namanya, model ini sangat menitik beratkan pada kegiatan pengukuran. Pengukuran digunakan untuk menentukan kuantitas suatu sifat tertentu yang dimiliki oleh suatu objek, orang maupun peristiwa dalam bentuk unit ukuran tertentu. Dalam bidang pendidikan, model ini telah diterapkan untuk mengungkap perbedaan-perbedaan individual maupun kelompok dalam hal kemampuan, minat dan sikap.
Objek dari model pengukuran adalah tingkah laku peserta didik yang mencakup kognitif (hasil belajar), pembawaan, sikap, minat, bakat, aspek-aspek kepribadian peserta didik dan khususnya yang dapat diukur dengan alat evaluasi yang objektif dan dapat dilakukan.
Jenis data yang dikumpulkan dalam evaluasi adalah data objektif khususnya skor hasil tes. Instrumen yang digunakan pada umumnya adalah tes tertulis dalam bentuk tes objektif. Oleh sebab itu, dengan menganalisis soal sangat memperhatikan Difficulty index dan indeks of discrimination.
 Model ini menggunakan pendekatan penilaian acuan norma (norma refenced assessment). Pendekatan lainnya dalam model ini adalah membandingkan hasil belajar antara dua atau lebih kelompok yang menggunakan cara pengajaran yang berbeda sebagai variabel bebas. Analisis perbedaan skor dilakukan dengan menggunakan cara-cara statistik tertentu untuk dapat menyimpulkan cara pengajaran mana yang lebih efektif di antara cara-cara yang dinilai.
Evaluasi pada dasarnya adalah pengukuran perilaku siswa untuk mengungkapkan perbedaan individual maupun kelompok. Hasil evaluasi digunakan terutama untuk keperluan seleksi siswa, bimbingan pendidikan dan perbandingan efektifitas antara dua atau lebih program pendidikan.
Dalam kegiatan evaluasi cenderung ditempuh metode berikut:
1)      Menempatkan ’kedudukan’ setiap siswa dalam evaluasi dalam kelompoknya melalui perkembanagn norma kelompok dalam evaluasi hasil belajar.
2)      Membandingkan hasil belajar antara dua atau lebih kelompok yang menggunakan program metode pengajaran yang berbeda-beda, melalui analisis secara kuantitatif.
3)      Tekhnik evaluasi yang digunakan terutama tes yang disusun dalam bentuk obyektif, yang terus dikembangkan untuk menghasilkan alat evaluasi yang raliabel dan valid.
4)      menempuh langkah-langkah pokok sebagai berikut : penegasan tujuan, pengembangan alat evaluasi, dan penggunaan hasil evaluasi.
5)      Analisis hasil evaluasi dilakukan secara bagian demi bagian.
6)      Tekhnik evaluasi mencakup tes dan tekhnik-tekhnik evaluasi lainnya yang cocok untuk menilai berbagai jenis perilaku yang terkandung dalam tujuan.
Ada beberapa ciri-ciri dari model pengukuran (measurement model) menurut  Edward L. Tohrndike dan Robert L. Ebel, sebagai berikut :
1)      Mengutamakan pengukuran dalam proses evaluasi. Pengukuran merupakan kegiatan ilmiah yang dapat diterapkan dalam berbagai bidang termasuk  dalam bidang pendidikan.
2)      Evaluasi adalah pengukuran terhadap berbagai aspek tingkah laku untuk melihat perbedan tingkah laku individu atau kelompok.
3)      Ruang lingkup adalah hasil belajar aspek belajar kognitif.
4)      Alat evaluasi yang digunakan adalah tes tertulis terutama bentuk objektif.
5)      Meniru evaluasi dalam ilmu alam yang mengutamakan objektivitas. Karena itu, model ini cenderung mengembangkan alat-alat evaluasi yang baku. Pembakuan yang dilakukan dengan mencobakan kepada sanpel yang cukup besar untuk melihat validitas dan reliabilitasnya.[5]
Keunggulan Measurement Model
Keunggulan dari model ini adalah sumbangannya yang sangat berarti dalam hal penekannya terhadap pentingnya objektivitas dalam proses penilaian. Aspek objektivitas yang ditekankan oleh model ini perlu dijadikan landasan yang terus-menerus dalam rangka mengembangkan sistem penilaian pendidikan. Di samping itu evaluasi dalam model ini memungkinkan untuk melakukan analisis hasil evaluasi secara statistic.
Keterbatasan Measurement Model
Keterbatasan dari model ini terletak pada penekanannya yang berlebihan pada aspek pengukuran dalam kegiatan penilaian pendidikan. Konsekuensinya, penilaian cenderung dibatasi pada dimensi tertentu dari system pendidikan yang “dapat diukur” ( adalah hasil belajar yang bersifat kognitif). Yang menjadi persoalan adalah belajar yang bersifat kognitif tersebut bukan merupakan satu-satunya indikator bagi keberhasilan suatu kurikulum. Kurikulum sebagai suatu “alat” untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan diharapkan dapat mengembangkan berbagai potensi yang ada pada diri siswa, tidak terbatas hanya pada potensi kognitif saja.
B.     MODEL PENYESUAIN (CONGRUENCE MODEL)

Tokoh yang mengembangkan model penyesuain (congruence model) adalah Ralph W. Thyler, John B. Carrol, dan Lee Ji Cronbach.
Menurut model ini, evaluasi adalah suatu kegiatan untuk melihat kesesuaian antara tujuan dengan hasil belajar, yang telah dicapai. Hasil evaluasi digunakan untuk menginformasikan sistem bimbingan peserta didik dan untuk memberikan informasi kepada pihak-pihak yang memerlukan.
Objek evaluasi model kesesuaian adalah tingkah laku peserta didik yaitu perubahan tingkah laku yang diinginkan pada akhir kegiatan pendidikan, baik yang menyangkut aspek kognitif, efektif maupun psikomotorik.
-          Penilaian aspek kognitif mencakup persoalan siswa dalam hal penguasaan materi secara teori baik yang mencakup pemahaman materi ataupun hafalan materi.
-          Aspek efektif merupakan aspek penilaian yang dapat diamati dari perubahan siswa/i dan tent nya merupakan perubahan kearah positif.  Akan tetapi karena sikap itu sendiri sulit diukur dengan nilai karena selalu berubah disetiap waktu maka yang dijadika format penilaian adalah dilihat dari analisis angket.
-          Pengukuran aspek psikomotorik adalah aspek pendidik yang berkaitan erat dengan masalah keterampilan siswa dalam berbuat.
 Untuk itu, teknik evaluasi ini yang digunakan tidak hanya tes (tulisan, lisan, dan perbuatan) tetapi juga non-tes (observasi, wawancara, skala sikap dan sebagainya). Model ini memerlukan informasi perubahan tingkah laku pada dua tahap yaitu sebelum dan sesudah kegiatan pembelajaran.
Evaluasi juga merupakan pemeriksaan kesesuaian atau congruence antara tujuan pendidikan dan hasil belajar yang dicapai, untuk melihat sejauh mana perubahan hasil pendidikan telah terjadi. Hasil evaluasi diperlukan dalam rangka penyempurnaan program, bimbingan pendidikan dan pemberian informasi kepada pihak pihak diluar pendidikan. Objek evaluasi dititik beratkan pada hasil belajar dalam bentuk kognitif, psikomotorik maupun nilai dan sikap. Jenis data yang dikumpulkan adalah data objektif  khususnya skor hasil tes.
Dalam kegiatan evaluasi, cenderung ditempuh cara-cara berikut:
1)      Merumuskan tujuan tingkah laku (objectives behaviour)
2)      Menentukan situasi dimana peserta didik dapat memperlihatkan tingkah laku yang akan di evaluasi
3)      Menggunakan prosedur pre-and post-assesment dengan menempuh langkah-langkah pokok sebagai berikut :
-          penegasan tujuan
-          pengembangan alat evaluasi
-          penggunaan hasil evaluasi

Ciri-ciri evaluasi model penyesuaian (congruen model) yang dikembangkan oleh para tokoh tersebut sebelumnya adalah sebagai berikut :
1)      Pendidikan adalah proses yang memuat tiga hal yaitu tujuan pendidikan, pengalaman belajar, dan penilaian hasil belajar. Kegiatan evaluasi dilakukan untuk melihat sejauh mana tujuan pendidikan yang diberikan dalam pengalaman belajar telah dicapai siswa dalam bentuk hasil belajar atau untuk melihat kesesuaian antara tujuan pendidikan yang diinginkan dengan hasil belajar yang dicapai.
2)      Objek evaluasi adalah tingkah laku siswa/i dan penilaian dilakukan atas perubahan dalam tingkah laku pada akhir pendidikan. Tujuan pendidikan adalah mencerminkan perubahan-perubahan perilaku yang diinginkan pada anak. Evaluasi dilakukan untuk menilai sejauh mana perubahan itu telah terjadi dalam hasil belajar. Oleh karena itu, penilaian dilakukan atas perubahan perilaku sebelum dan sesudah kegiatan pendidikan. Maka evaluasi menilai perubahan yang dicapai kegiatan pendidikan.
3)      Perubahan perilaku hasil belajar terjadi dalam aspek kognitif, efektif dan psikomotorik. Oleh karena aspek belajar bukan hanya aspek kognitif, maka evaluasi bukan hanya berupa tes tertulis, tetapi semua kemungkinan alat evaluasi dapat digunakan sesuai dengan hakikat tujuan yang ingin dicapai.  

Kelebihan Congruence Model
1)      Menghubungkan hasil belajar dengan tujuan pendidikan sebagai kriteria perbandingan
2)      Memperkenalkan system pengolahan hasil penilaian secara bagian demi bagian, yang ternyata lebih relevan dengan kebutuhan pengembangan system.

Keterbatasan Congruence Model
Tidak menjadikan input dan proses pelaksanaan sebagai objek penilaian secara langsung. Dengan model pre dan post test informasi yang dihasilkan hanya dapat menjawab pertanyaan tentang tujuan-tujuan mana yang telah dan belum dicapai. Pertanyaan tentang mengapa tujuan-tujuan tertentu belum dapat dicapai belum dapat dijawab.
 Pendekatan ini membantu pengembang kurikulum dalam menentukan bagian-bagian mana dari sistem yang masih lemah, tetapi kurang membantu di dalam mencari jawaban tentang segi-segi apa yang masih lemah dan bagaimana kemungkinan mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut .







BAB III
PENUTUP
Tokoh dari model pengukuran (measurement model) adalah Edward L. Tohrndike dan Robert L. Ebel. Menurut model ini penilaian pendidikan pada dasarnya tidak lain adalah “pengukuran” terhadap berbagai aspek tingkah laku dengan tujuan untuk melihat perbedaan-perbedaan individu atau kelompok, yang hasilnya diperlukan dalam rangka seleksi, bimbingan, dan perencanaan pendidikan bagi para siswa di sekolah.
Tokoh yang mengembangkan model penyesuain (congruence model) adalah Ralph W. Thyler, John B. Carrol, dan Lee Ji Cronbach. Menurut model ini, evaluasi adalah suatu kegiatan untuk melihat kesesuaian antara tujuan dengan hasil belajar, yang telah dicapa

 Salah satu ciri-ciri evaluasi model penyesuaian (congruen model) yang dikembangkan oleh  Ralph W. Thyler, John B. Carrol, dan Lee Ji Cronbach yaitu : “Pendidikan adalah proses yang memuat tiga hal yaitu tujuan pendidikan, pengalaman belajar, dan penilaian hasil belajar. Kegiatan evaluasi dilakukan untuk melihat sejauh mana tujuan pendidikan yang diberikan dalam pengalaman belajar telah dicapai siswa dalam bentuk hasil belajar atau untuk melihat kesesuaian antara tujuan pendidikan yang diinginkan dengan hasil belajar yang dicapai.”












DAFTAR PUSTAKA


·         Purwanto. Evaluasi Hasil Belajar. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2009.
·         Ebel, R.L. dan Frisbie, D.A. Esential Of Educational Measurement. New Jerseey : Prentice-Hall. 1986.
·         Djemari Mardapi. Pengukuran, penilaian, dan Evaluasi (makalah disampaikan pada penataran hasil pembelajaran Matematika SLTP untuk guru inti Matematika di MGMP SLTP tanggal 8-23 November 1999 di PPPG Matematika Yogyakarta). 2000.


[1] R.L. Ebel dan D.A. Frisbie. Esential Of Educational Measurement. New Jerseey : Prentice-Hall. 1986.
[2] Djemari Mardapi. 2000. Pengukuran, penilaian, dan Evaluasi.
[3] Purwanto. Evaluasi Hasil Belajar. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2009.
[4] file:///C:/Users/user/Downloads/model-model-evaluasi-pendidikan.%201.html
[5] Purwanto. Evaluasi Hasil Belajar. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2009.

Minggu, 27 Juli 2014

Anak Berkebutuhan Khusus

BAB I
PENDAHULUAN

Psikologi pada awalnya ialah ilmu yang berakar dari dunia kedokteran dan kemudian memisahkan diri dan menjadi ilmu yang berdiri sendiri. Oleh para ilmuan, psikologi digunakan untuk memenuhi kebutuhan mereka dalam memahami akal fikiran dan tingkah laku aneka ragam makhluk hidup terutama manusia.
Psikologi merupakan ilmu pengetahuan yang berusaha untuk memahami perilaku manusia pada khususnya tidak terkecuali Anak – anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Anak – anak berkebutuhan khusus termasuk penyandang cacat merupakan salah satu sumber daya manusia bangsa Indonesia yang kualitasnya harus ditingkatkan agar dapat berperan, tidak hanya sebagai obyek pembangunan tetapi juga sebagai subyek pembangunan.
Anak penyandang cacat perlu dikenali dan diidentifikasi dari kelompok anak pada umumnya, karena mereka memerlukan pelayanan yang bersifat khusus, seperti pelayanan medik, pendidikan khusus maupun latihan-latihan tertentu yang bertujuan untuk mengurangi keterbatasan dan ketergantungan akibat kelainan yang diderita, serta menumbuhkan kemandirian hidup dalam bermasyarakat. 


 
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)

Anak berkebutuhan khusus adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukan pada ketidak mampuan mental, emosi atau fisik. Adapun yang termasuk kedalam ABK (anak berkebutuhan khusus) antara lain: tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, gangguan prilaku, anak berbakat, anak dengan gangguan kesehatan. istilah lain bagi anak berkebutuhan khusus adalah anak luar biasa dan anak cacat.[1]
Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang mengalami hambatan fisik dan atau mental sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya secara wajar, dan anak yang akibat keadaan tertentu mengalami kekerasan, berada di lembaga permasyarakatan atau rumah tahanan, di jalanan, di daerah terpencil, bencana atau konflik yang memerlukan penanganan secara khusus.
Karena karakteristik dan hambatan yang dimilki, ABK (anak berkebutuhan khusus) memerlukan bentuk pelayanan pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kemampuan dan potensi mereka. Contoh pelayanan pendidikan khusus bagi tunanetra adalah mereka memerlukan modifikasi teks bacaan menjadi tulisan Braille dan tunarungu berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat.
Anak berkebutuan khusus biasanya bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB) sesuai dengan kekhususannya masing-masing. SLB bagian A untuk tunanetra, SLB bagian B untuk tunarungu, SLB bagian C untuk tunagrahita, SLB bagian D untuk tunadaksa, SLB bagian E untuk tunalaras dan SLB bagian G untuk cacat ganda.

B.     Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus

1.      Tunanetra
Tunanetra adalah individu yang memiliki hambatan dalam penglihatan. tunanetra dapat diklasifikasikan kedalam dua golongan yaitu: buta total (Blind) dan low vision. Definisi Tunanetra menurut Kaufman & Hallahan adalah individu yang memiliki lemah penglihatan atau akurasi penglihatan kurang dari 6/60 setelah dikoreksi atau tidak lagi memiliki penglihatan. Karena tunanetra memiliki keterbataan dalam indra penglihatan maka proses pembelajaran menekankan pada alat indra yang lain yaitu indra peraba dan indra pendengaran.
Oleh karena itu prinsip yang harus diperhatikan dalam memberikan pengajaran kepada individu tunanetra adalah media yang digunakan harus bersifat takstual dan suara, contohnya adalah penggunaan tulisan braille, gambar timbul, benda model dan benda nyata, sedangkan media yang bersuara adalah tape recorder dan peranti lunak JAWS. Untuk membantu tunanetra beraktivitas di sekolah luar biasa mereka belajar mengenai Orientasi dan Mobilitas.
Orientasi dan Mobilitas diantaranya mempelajari bagaimana tunanetra mengetahui tempat dan arah serta bagaimana menggunakan tongkat putih (tongkat khusus tunanetra yang terbuat dari alumunium).
Karakteristik anak tunanetra antara lain:
·         mempunyai kemampuan berhitung,
·         Menerima informasi dan kosakata hampir menyamai anak normal tetapi mengalami kesulitan dalam hal pemahaman yang berhubungan dengan penglihatan
·         Kesulitan penguasaan keterampilan sosial yang ditandai dengan sikap tubuh tidak menentu, agak kaku, serta antara ucapan dan tindakan kurang sesuai karena tidak dapat mengetahui situasi yang ada di lingkungan sekitarnya.  
·         Pada umumnya mereka menunjukkan kepekaan indera pendengaran
·         Indera perabaan lebih baik dibandingkan dengan anak normal.
·         Sering melakukan perilaku stereotip seperti menggosok-gosokkan mata dan meraba-raba sekelilingnya.[2]

2.      Attention Deficit and Hyperactivity Disorder (ADHD) atau Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH)

Attention Deficit and Hyperactivity Disorder (ADHD) atau Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH) adalah sekelompok kelainan mekanisme tertentu pada sistim syaraf pusat yang menyebabkan anak menjadi hiperaktif, tidak bisa beristirahat, berperilaku tidak sabaran, kesulitan untuk memusatkan perhatian dan impulsif.
Karakteristik untuk kelainan ini diantaranya :
·         Hiperaktif
·         Tidak bisa istirahat
·         Tidak kenal lelah
·         Perilaku tidak sabaran dan impulsif tetapi masih punya kemampuan untuk memberikan perhatian dan tanggung jawab
·         Serta sering menghabiskan waktu untuk mengerjakan sesuatu yang menarik perhatian mereka.

3.      Tunarungu atau Tunawicara

Tunarungu adalah individu yang memiliki hambatan dalam pendengaran baik permanen maupun tidak permanen. Klasifikasi tunarungu berdasarkan tingkat gangguan pendengaran adalah:
  1. Gangguan pendengaran sangat ringan (27-40 dB),
  2. Gangguan pendengaran ringan (41-55 dB),
  3. Gangguan pendengaran sedang (56-70 dB),
  4. Gangguan pendengaran berat (71-90 dB),
  5. Gangguan pendengaran ekstrem/tuli(di atas 91dB).
Karena memiliki hambatan dalam pendengaran individu tunarungu juga memiliki hambatan dalam berbicara sehingga mereka biasa disebut tunawicara. Cara berkomunikasi dengan individu menggunakan bahasa isyarat yaitu dengan abjad jari yang telah dipatenkan secara internasional. Individu tunarungu cenderung kesulitan dalam memahami konsep dari sesuatu yang abstrak. Umumnya mereka memiliki sifat ego – sentris yang melebihi anak normal, cepat marah dan mudah tersinggung. Kesehatan fisik pada umumnya sama dengan anak normal lainnya.
4.      Autisme
Autisme adalah suatu kondisi yang mengenai seseorang sejak lahir ataupun saat masa balita, yang membuat dirinya tidak membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang normal, yang mengakibatkan anak terisolasi dari manusia lain dan masuk dalam dunia repetitif, aktivitas dan minat yang obsesif.
Karakteritik anak autisme biasanya adalah :
·         Memiliki respon abnormal terhadap stimuli sensori
·         Perkembangan kemampuan kognitif terlambat
·         Tidak mampu mengembangkan sosialisasi yang normal
·         Gangguan dalam berbicara
·         Bahasa dan komunikasi
·         Serta senang meniru atau mengulangi kata-kata orang lain (egolalia).
·         Tidak mampu mengekspresikan perasaan,
·         acuh tak acuh, senang menyendiri, bengong, konsentrasi kosong
·         sangat sensitif terhadap sentuhan halus
·         Sensitif terhadap suara-suara tertentu
·         Tidak bermain seperti anak-anak pada umumnya
·         Sering terpaku pada benda-benda tertentu
·         Sering marah tanpa alasan
·         Mengamuk tak terkendali serta menyerang orang tanpa diduga-duga
·         Sebagian kecil memiliki ingatan yang sangat kuat melebihi kemampun anak normal

5.      Tunagrahita
Tunagrahita adalah individu yang memiliki intelegensi yang signifikan berada dibawah rata-rata dan disertai dengan ketidakmampuan dalam adaptasi prilaku yang muncul dalam masa perkembangan. Klasifikasi tunagrahita berdasarkan pada tingkatan IQ, sebagai berikut :
  1. Tunagrahita ringan (IQ : 51-70),
  2. Tunagrahita sedang (IQ : 36-51),
  3. Tunagrahita berat (IQ : 20-35),
  4. Tunagrahita sangat berat (IQ dibawah 20).
Ciri – ciri tunarungu diantaranya :
·         Pembelajaran bagi individu tunagrahita lebih di titik beratkan pada kemampuan bina diri dan sosialisasi.
·         Memiliki prestasi sekolah kurang secara menyeluruh
·         Tingkat kecerdasan (IQ) di bawah 70
·         Memiliki ketergantungan pada orang lain secara berlebihan
·         Kurang tanggap
·         Penampilan fisiknya kurang proporsional
·         Perkembangan dalam berbicara terlambat dan bahasa terbatas.[3]

6.      Tunaganda
Anak Tunaganda adalah anak yang memiliki dua ketunaan atau lebih yang masing-masing perpaduan ketunaan tersebut memiliki ciri khas dalam belajar sehingga diperlukan pelayanan pendidikan khusus dan alat bantu belajar yang khusus[4].
Adapun ciri dan katakteristik anak tunaganda yaitu :
·         Memiliki ketunaan lebih dari satu
·         Semakin parah apabila tidak segera mendapatkan bantuan
·         Sulit dievaluasi
·         Cenderung menimbulkan ketunaan baru
·         Memiliki wajah yang khas
·         Pertumbuhan dan perkembangannya lebih lambat dari usia kalendernya
·         Kemampuan orientasi dan mobilitasnya terbatas
·         Cenderung menyendiri
·         Memiliki emosi tidak stabil
·         Perkembangan emosi pada umumnya tidak sesuai dengan usia kalendernya
·         Tingkat kecerdasan yang cenderung rendah.[5]

7.      Tunadaksa

Tunadaksa adalah individu yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainan neuro-muskular dan struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit atau akibat kecelakaan, termasuk celebral palsy, amputasi, polio, dan lumpuh.
Tingkat gangguan pada tunadaksa adalah ringan yaitu memiliki keterbatasan dalam melakukan aktivitas fisik tetapi masih dapat ditingkatkan melalui terapi. Tingkatan menengah yaitu memilki keterbatasan motorik dan mengalami gangguan koordinasi sensorik dan tingkatan berat yaitu memiliki keterbatasan total dalam gerakan fisik dan tidak mampu mengontrol gerakan fisik.
Karakterisitik anak tunadaksa adalah:
·         Anggota gerak tubuh tidak lengkap
·         Bentuk anggota tubuh dan tulang belakang tidak normal
·         Kemampuan gerak sendi terbatas
·         Ada hambatan dalam melaksanakan aktifitas kehidupan sehari hari.

8.      Tunalaras

Tunalaras adalah individu yang mengalami hambatan dalam mengendalikan emosi dan kontrol sosial. individu tunalaras biasanya menunjukan prilaku menyimpang yang tidak sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku disekitarnya. Tunalaras dapat disebabkan karena faktor internal dan faktor eksternal yaitu pengaruh dari lingkungan sekitar.
Karakteristik anak tunalaras biasanya melakukan tindak kekerasan bukan karena mempertahankan diri, misalnya pemukulan, penganiayaan dan pencurian, serta sering melakukan pelanggaran berbagai aturan.

9.      Kesulitan Belajar

Kesulitan belajar adalah dimana individu yang memiliki gangguan pada satu atau lebih kemampuan dasar psikologis yang mencakup pemahaman dan penggunaan bahasa, berbicara dan menulis yang dapat memengaruhi kemampuan berfikir, membaca, berhitung, berbicara yang disebabkan karena gangguan persepsi, brain injury, disfungsi minimal otak, dislexia, dan afasia perkembangan. individu yang mengalami kesulitan belajar memiliki IQ rata-rata atau diatas rata-rata, mengalami gangguan motorik persepsi - motorik, gangguan koordinasi gerak, gangguan orientasi arah dan ruang dan keterlambatan perkembangan konsep.



BAB III
PENUTUP

Anak berkebutuhan khusus adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik. Adapun yang termasuk kedalam ABK (anak berkebutuhan khusus) antara lain: tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, gangguan prilaku, anak berbakat, anak dengan gangguan kesehatan. istilah lain bagi anak berkebutuhan khusus adalah anak luar biasa dan anak cacat.
Karena karakteristik dan hambatan yang dimilki, ABK (anak berkebutuhan khusus) memerlukan bentuk pelayanan pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kemampuan dan potensi mereka. Contoh pelayanan pendidikan khusus bagi tunanetra adalah mereka memerlukan modifikasi teks bacaan menjadi tulisan Braille dan tunarungu berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat.
Anak berkebutuan khusus biasanya bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB) sesuai dengan kekhususannya masing-masing. SLB bagian A untuk tunanetra, SLB bagian B untuk tunarungu, SLB bagian C untuk tunagrahita, SLB bagian D untuk tunadaksa, SLB bagian E untuk tunalaras dan SLB bagian G untuk cacat ganda.



DAFTAR PUSTAKA

·         Drs. M. Dalyono. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta. 2005.
·         Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Pedoman Pelaksanaan Manajemen Sekolah Khusus Untuk Autistik (SLB-F). Jakarta. 2008.
·         Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Pedoman Pelaksanaan. Manajemen Sekolah Khusus Tunanetra (SLB-A). Jakarta. 2008.
·         Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Pedoman Pelaksanaan Manajemen Sekolah Khusus Tunarungu/Tunawicara (SLB-B), Jakarta, 2008.

·         Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Direktorat Bina Kesehatan Anak, dan Kementrian Kesehatan RI. Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di Sekolah Luar Biasa (SLB) Bagi Petugas Kesehata. 2010.





[2] Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Direktorat Bina Kesehatan Anak, dan Kementrian Kesehatan RI. Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di Sekolah Luar Biasa (SLB) Bagi Petugas Kesehata. 2010.

[3] Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Direktorat Bina Kesehatan Anak, dan Kementrian Kesehatan RI. Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di Sekolah Luar Biasa (SLB) Bagi Petugas Kesehata. 2010.
[4] Widjajantin, 2004.
[5] Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Direktorat Bina Kesehatan Anak, dan Kementrian Kesehatan RI. Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di Sekolah Luar Biasa (SLB) Bagi Petugas Kesehatan. 2010.