BAB I
PENDAHULUAN
Psikologi pada awalnya ialah ilmu yang berakar dari dunia
kedokteran dan kemudian memisahkan diri dan menjadi ilmu yang berdiri sendiri.
Oleh para ilmuan, psikologi digunakan untuk memenuhi kebutuhan mereka dalam
memahami akal fikiran dan tingkah laku aneka ragam makhluk hidup terutama
manusia.
Psikologi merupakan ilmu pengetahuan yang berusaha untuk memahami
perilaku manusia pada khususnya tidak terkecuali Anak – anak Berkebutuhan
Khusus (ABK). Anak – anak berkebutuhan khusus termasuk penyandang
cacat merupakan salah satu sumber daya manusia bangsa Indonesia yang
kualitasnya harus ditingkatkan agar dapat berperan, tidak hanya sebagai obyek
pembangunan tetapi juga sebagai subyek pembangunan.
Anak penyandang cacat perlu dikenali dan diidentifikasi dari
kelompok anak pada umumnya, karena mereka memerlukan pelayanan yang bersifat
khusus, seperti pelayanan medik, pendidikan khusus maupun latihan-latihan
tertentu yang bertujuan untuk mengurangi keterbatasan dan ketergantungan akibat
kelainan yang diderita, serta menumbuhkan kemandirian hidup dalam
bermasyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
Anak berkebutuhan khusus adalah anak dengan karakteristik khusus
yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukan pada ketidak mampuan
mental, emosi atau fisik. Adapun yang termasuk kedalam ABK (anak berkebutuhan
khusus) antara lain: tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan
belajar, gangguan
prilaku, anak
berbakat, anak dengan gangguan kesehatan.
istilah lain bagi anak berkebutuhan khusus adalah anak
luar biasa dan anak
cacat.[1]
Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang mengalami hambatan fisik
dan atau mental sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya secara
wajar, dan anak yang akibat keadaan tertentu mengalami kekerasan, berada di
lembaga permasyarakatan atau rumah tahanan, di jalanan, di daerah terpencil,
bencana atau konflik yang memerlukan penanganan secara khusus.
Karena karakteristik dan hambatan yang dimilki, ABK (anak
berkebutuhan khusus) memerlukan bentuk pelayanan pendidikan khusus yang
disesuaikan dengan kemampuan dan potensi mereka. Contoh pelayanan pendidikan
khusus bagi tunanetra adalah mereka memerlukan modifikasi teks bacaan menjadi tulisan
Braille dan tunarungu berkomunikasi
menggunakan bahasa isyarat.
Anak berkebutuan khusus biasanya bersekolah di Sekolah Luar Biasa
(SLB) sesuai dengan kekhususannya masing-masing. SLB bagian A untuk tunanetra, SLB bagian B untuk tunarungu, SLB bagian
C untuk tunagrahita, SLB bagian D untuk tunadaksa, SLB bagian E untuk tunalaras
dan SLB bagian G untuk cacat ganda.
B.
Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus
1.
Tunanetra
Tunanetra adalah individu yang memiliki hambatan dalam penglihatan.
tunanetra dapat diklasifikasikan kedalam dua golongan yaitu: buta
total (Blind) dan low
vision. Definisi Tunanetra menurut Kaufman
& Hallahan adalah
individu yang memiliki lemah penglihatan atau akurasi penglihatan kurang dari
6/60 setelah dikoreksi atau tidak lagi memiliki penglihatan. Karena tunanetra
memiliki keterbataan dalam indra penglihatan maka proses pembelajaran
menekankan pada alat indra yang lain yaitu indra peraba dan indra pendengaran.
Oleh karena itu prinsip yang harus diperhatikan dalam memberikan
pengajaran kepada individu tunanetra adalah media yang digunakan harus bersifat
takstual dan suara, contohnya adalah penggunaan tulisan
braille, gambar timbul, benda model dan
benda nyata, sedangkan media yang bersuara adalah tape
recorder dan peranti lunak JAWS. Untuk membantu tunanetra beraktivitas di sekolah luar biasa
mereka belajar mengenai Orientasi dan Mobilitas.
Orientasi dan Mobilitas diantaranya mempelajari bagaimana tunanetra
mengetahui tempat dan arah serta bagaimana menggunakan tongkat
putih (tongkat khusus tunanetra yang
terbuat dari alumunium).
Karakteristik
anak tunanetra antara lain:
·
mempunyai
kemampuan berhitung,
·
Menerima
informasi dan kosakata hampir menyamai anak normal tetapi mengalami kesulitan dalam
hal pemahaman yang berhubungan dengan penglihatan
·
Kesulitan
penguasaan keterampilan sosial yang ditandai dengan sikap tubuh tidak menentu,
agak kaku, serta antara ucapan dan tindakan kurang sesuai karena tidak dapat mengetahui
situasi yang ada di lingkungan sekitarnya.
·
Pada
umumnya mereka menunjukkan kepekaan indera pendengaran
·
Indera
perabaan lebih baik dibandingkan dengan anak normal.
·
Sering
melakukan perilaku stereotip seperti menggosok-gosokkan mata dan meraba-raba sekelilingnya.[2]
2.
Attention
Deficit and Hyperactivity Disorder (ADHD) atau Gangguan Pemusatan Perhatian dan
Hiperaktivitas (GPPH)
Attention Deficit and Hyperactivity Disorder (ADHD) atau Gangguan
Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH) adalah sekelompok kelainan
mekanisme tertentu pada sistim syaraf pusat yang menyebabkan anak menjadi
hiperaktif, tidak bisa beristirahat, berperilaku tidak sabaran, kesulitan untuk
memusatkan perhatian dan impulsif.
Karakteristik untuk kelainan ini diantaranya :
·
Hiperaktif
·
Tidak
bisa istirahat
·
Tidak
kenal lelah
·
Perilaku
tidak sabaran dan impulsif tetapi masih punya kemampuan untuk memberikan
perhatian dan tanggung jawab
·
Serta
sering menghabiskan waktu untuk mengerjakan sesuatu yang menarik perhatian
mereka.
3.
Tunarungu atau Tunawicara
Tunarungu
adalah individu yang memiliki hambatan dalam pendengaran baik permanen maupun
tidak permanen. Klasifikasi tunarungu berdasarkan tingkat gangguan pendengaran
adalah:
- Gangguan pendengaran sangat ringan (27-40 dB),
- Gangguan pendengaran ringan (41-55 dB),
- Gangguan pendengaran sedang (56-70 dB),
- Gangguan pendengaran berat (71-90 dB),
- Gangguan pendengaran ekstrem/tuli(di atas 91dB).
Karena memiliki hambatan dalam pendengaran individu
tunarungu juga memiliki hambatan dalam berbicara sehingga mereka biasa disebut tunawicara. Cara berkomunikasi dengan individu menggunakan bahasa isyarat yaitu dengan abjad jari yang telah dipatenkan secara
internasional. Individu tunarungu cenderung kesulitan dalam memahami konsep
dari sesuatu yang abstrak. Umumnya mereka
memiliki sifat ego – sentris yang melebihi anak
normal, cepat marah dan mudah tersinggung. Kesehatan fisik pada umumnya sama
dengan anak normal
lainnya.
4. Autisme
Autisme
adalah suatu kondisi yang mengenai seseorang sejak lahir ataupun saat masa
balita, yang membuat dirinya tidak membentuk hubungan sosial atau komunikasi
yang normal, yang mengakibatkan anak terisolasi dari manusia lain dan masuk
dalam dunia repetitif, aktivitas dan minat yang obsesif.
Karakteritik
anak autisme biasanya adalah :
·
Memiliki
respon abnormal terhadap stimuli sensori
·
Perkembangan
kemampuan kognitif terlambat
·
Tidak
mampu mengembangkan sosialisasi yang normal
·
Gangguan
dalam berbicara
·
Bahasa
dan komunikasi
·
Serta
senang meniru atau mengulangi kata-kata orang lain (egolalia).
·
Tidak
mampu mengekspresikan perasaan,
·
acuh
tak acuh, senang menyendiri, bengong, konsentrasi kosong
·
sangat
sensitif terhadap sentuhan halus
·
Sensitif
terhadap suara-suara tertentu
·
Tidak
bermain seperti anak-anak pada umumnya
·
Sering
terpaku pada benda-benda tertentu
·
Sering
marah tanpa alasan
·
Mengamuk
tak terkendali serta menyerang orang tanpa diduga-duga
·
Sebagian
kecil memiliki ingatan yang sangat kuat melebihi kemampun anak normal
5.
Tunagrahita
Tunagrahita adalah individu yang memiliki intelegensi yang signifikan berada dibawah rata-rata dan disertai
dengan ketidakmampuan dalam adaptasi prilaku yang muncul dalam masa
perkembangan.
Klasifikasi tunagrahita berdasarkan pada tingkatan IQ, sebagai berikut :
- Tunagrahita ringan (IQ : 51-70),
- Tunagrahita sedang (IQ : 36-51),
- Tunagrahita berat (IQ : 20-35),
- Tunagrahita sangat berat (IQ dibawah 20).
Ciri – ciri tunarungu diantaranya :
·
Pembelajaran bagi individu tunagrahita lebih di
titik beratkan pada kemampuan bina diri dan sosialisasi.
·
Memiliki
prestasi sekolah kurang secara menyeluruh
·
Tingkat
kecerdasan (IQ) di bawah 70
·
Memiliki
ketergantungan pada orang lain secara berlebihan
·
Kurang
tanggap
·
Penampilan
fisiknya kurang proporsional
·
Perkembangan
dalam berbicara terlambat dan bahasa terbatas.[3]
6. Tunaganda
Anak Tunaganda adalah anak yang memiliki dua ketunaan atau lebih
yang masing-masing perpaduan ketunaan tersebut memiliki ciri khas dalam belajar
sehingga diperlukan pelayanan pendidikan khusus dan alat bantu belajar yang khusus[4].
Adapun ciri dan katakteristik anak tunaganda yaitu :
·
Memiliki
ketunaan lebih dari satu
·
Semakin
parah apabila tidak segera mendapatkan bantuan
·
Sulit
dievaluasi
·
Cenderung
menimbulkan ketunaan baru
·
Memiliki
wajah yang khas
·
Pertumbuhan
dan perkembangannya lebih lambat dari usia kalendernya
·
Kemampuan
orientasi dan mobilitasnya terbatas
·
Cenderung
menyendiri
·
Memiliki
emosi tidak stabil
·
Perkembangan
emosi pada umumnya tidak sesuai dengan usia kalendernya
·
Tingkat
kecerdasan yang cenderung rendah.[5]
7. Tunadaksa
Tunadaksa adalah individu yang memiliki
gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainan neuro-muskular dan struktur
tulang yang bersifat bawaan, sakit atau akibat kecelakaan, termasuk celebral palsy, amputasi, polio, dan lumpuh.
Tingkat gangguan pada tunadaksa adalah
ringan yaitu memiliki keterbatasan dalam melakukan aktivitas fisik tetapi masih
dapat ditingkatkan melalui terapi. Tingkatan menengah yaitu memilki
keterbatasan motorik dan mengalami gangguan koordinasi sensorik dan tingkatan berat
yaitu memiliki keterbatasan total dalam gerakan fisik dan tidak mampu
mengontrol gerakan fisik.
Karakterisitik
anak tunadaksa adalah:
·
Anggota
gerak tubuh tidak lengkap
·
Bentuk
anggota tubuh dan tulang belakang tidak normal
·
Kemampuan
gerak sendi terbatas
·
Ada
hambatan dalam melaksanakan aktifitas kehidupan sehari hari.
8. Tunalaras
Tunalaras adalah individu yang mengalami
hambatan dalam mengendalikan emosi dan kontrol sosial. individu tunalaras
biasanya menunjukan prilaku menyimpang yang tidak sesuai dengan norma dan
aturan yang berlaku disekitarnya. Tunalaras dapat disebabkan karena faktor
internal dan faktor eksternal yaitu pengaruh dari lingkungan sekitar.
Karakteristik anak tunalaras biasanya melakukan
tindak kekerasan bukan karena mempertahankan diri, misalnya pemukulan,
penganiayaan dan pencurian, serta sering melakukan pelanggaran berbagai aturan.
9. Kesulitan Belajar
Kesulitan belajar adalah dimana individu
yang memiliki gangguan pada satu atau lebih kemampuan dasar psikologis yang
mencakup pemahaman dan penggunaan bahasa, berbicara dan menulis yang dapat
memengaruhi kemampuan berfikir, membaca, berhitung, berbicara yang
disebabkan karena gangguan persepsi, brain injury, disfungsi minimal otak,
dislexia, dan afasia
perkembangan. individu yang mengalami kesulitan belajar memiliki IQ rata-rata
atau diatas rata-rata, mengalami gangguan motorik persepsi - motorik, gangguan
koordinasi gerak, gangguan orientasi arah dan ruang dan keterlambatan perkembangan
konsep.
BAB III
PENUTUP
Anak berkebutuhan khusus adalah anak dengan karakteristik khusus
yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukan pada
ketidakmampuan mental, emosi atau fisik. Adapun yang termasuk kedalam ABK (anak
berkebutuhan khusus) antara lain: tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan
belajar, gangguan
prilaku, anak
berbakat, anak dengan gangguan kesehatan.
istilah lain bagi anak berkebutuhan khusus adalah anak
luar biasa dan anak
cacat.
Karena karakteristik dan hambatan yang dimilki, ABK (anak
berkebutuhan khusus) memerlukan bentuk pelayanan pendidikan khusus yang
disesuaikan dengan kemampuan dan potensi mereka. Contoh pelayanan pendidikan
khusus bagi tunanetra adalah mereka memerlukan modifikasi teks bacaan menjadi tulisan
Braille dan tunarungu berkomunikasi
menggunakan bahasa isyarat.
Anak berkebutuan khusus biasanya bersekolah di Sekolah Luar Biasa
(SLB) sesuai dengan kekhususannya masing-masing. SLB bagian A untuk tunanetra, SLB bagian B untuk tunarungu, SLB bagian
C untuk tunagrahita, SLB bagian D untuk tunadaksa, SLB bagian E untuk tunalaras
dan SLB bagian G untuk cacat ganda.
DAFTAR
PUSTAKA
·
Drs.
M. Dalyono. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta. 2005.
·
Departemen
Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Pedoman Pelaksanaan Manajemen
Sekolah Khusus Untuk Autistik (SLB-F). Jakarta. 2008.
·
Departemen
Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Pedoman Pelaksanaan. Manajemen Sekolah
Khusus Tunanetra (SLB-A). Jakarta. 2008.
·
Departemen
Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Pedoman Pelaksanaan Manajemen Sekolah
Khusus Tunarungu/Tunawicara (SLB-B), Jakarta, 2008.
·
Direktorat
Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Direktorat Bina Kesehatan Anak, dan
Kementrian Kesehatan RI. Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di Sekolah Luar
Biasa (SLB) Bagi Petugas Kesehata. 2010.
[2] Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Direktorat Bina
Kesehatan Anak, dan Kementrian Kesehatan RI. Pedoman Pelayanan Kesehatan
Anak di Sekolah Luar Biasa (SLB) Bagi Petugas Kesehata. 2010.
[3]
Direktorat
Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Direktorat Bina Kesehatan Anak, dan
Kementrian Kesehatan RI. Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di Sekolah Luar
Biasa (SLB) Bagi Petugas Kesehata. 2010.
[4]
Widjajantin,
2004.
[5]
Direktorat
Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Direktorat Bina Kesehatan Anak, dan
Kementrian Kesehatan RI. Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di Sekolah Luar
Biasa (SLB) Bagi Petugas Kesehatan. 2010.